Kamis, 18 Desember 2014

Cerpen: "BUKA KELAMBU"



Oleh Anjrah Lelono Broto



     Kaki kecil Marji lincah mengelupas pematang sawah menjadi jengkal-jengkal tak bermakna. Tanpa banyak membuang pandang, kaki kecil Marji menguliti pematang meninggalkanku jauh di belakang. Berkali aku harus membetulkan kain yang kupakai karena betisku menuntut untuk tersembul saat langkah kaki melebar-melesat, mengikuti langkah-langkah kaki kecil Marji yang bahagia namun tidak bersahabat dengan kakiku.
     Belasan tahun aku telah melewati pematang ini. Setiap sudut dan relungnya yang licin telah tersimpan rapat dalam memoriku. Namun kelopakku berkembang seiring merunduknya bunga padi. Dulu aku bisa berjalan atau berlari selincah kaki kecil Marji. Tapi itu itu dulu. Waktu pinggul dan dadaku belum mekar seperti sekarang. Waktu betisku bukan sebuah ketidaklaziman pemandangan, hingga aku harus memakai kain panjang, dan langkahku tidak dibolehkan lebar dan mengibar.
     Bahagianya waktu itu.
     “Jangan cepat-cepat, Ji!!” rutukku menggerutu.
     Marji menoleh dengan dosa yang tidak dipahami ujung atau pangkalnya. “Ada apa, Yu?”
     “Jalanmu jangan terlalu cepat, Ji! Yu Girah nggak bisa nututi….”
     “Dhe Kromo tadi menyuruh cepat-cepat, Yu.”
     Tanda tanya yang sewaktu Marji datang tadi hanya sebesar biji kemiri, sigap menggelembung menjadi bongkahan batu lereng Merapi. “Bapak punya karep apa lagi ini?” tanya batinku tak seirama dengan gemuruh jantung.
     “Di rumah tadi apa ada tamu nggak, Ji?!’ terburu.
     Marji tidak menelurkan sebuah kata jawab. Hingga hilang tubuh kecilnya di antara barongan Wak Kaji Karto, bocah yang sering membantuku menjemur gabah itu tidak meninggalkan tanda yang bisa kurangkai menjadi jawaban. Marji hanya melambai ringan. Sebuah petanda bahwa tugasnya telah terseleseikan.
     Ah, bahagianya. Ingin rasanya kembali menjadi anak seumuran Marji, bisa berbuat dan berpikiran ringan dengan bahagia.

******
     Ketika tanganku meletakkan caping di dinding gedhek lumbung telingaku menangkap suara bantas Bapak dan tamunya di mbale. Usia membuat telinga Bapak tidak setajam ketika masih suka mbedhog di hutan wetan kali. Sehingga ketika berbicara seakan tidak ada lagi rahasia. Siapa saja yang ada di halaman atau di samping rumah sekarang, tentu saja akan mengetahui apa yang menjadi tema perbincangan. Bahkan bakul penthol yang lewat di depan rumahku pun akan mengetahui rahasiaku. Karena aku dan keperempuanankulah yang sekarang menjadi perbincangan hangat Bapak dengan tamunya.
     Gemericik air di pancuran belakang ketika aku menguraikannya menjadi pembersih tangan dan wajah mengundang Ginah, adikku.
     “Yu….”, suaranya ditahan.
     Aku mengelap wajahku.
     “Yu….”, kali ini dilebihkan.
     Aku tidak membuat pertanyaan untuk Ginah, adikku. Karena kutahu pasti apa jawabannya. Kulewati Ginah dan segera langkah kuhela menuju kamar. Harapku, aku semakin jelas mendengar suara Bapak dari kamar.
     Aku tidak menoleh ke kanan. Aku tidak menoleh ke kanan. Biasanya, ketika aku berjalan dari pancuran di luar rumah ke kamar aku selalu menyisihkan saat dan pandangku ke kanan. Di mana ada kekembangan Melati yang jika musim hujan seperti ini mekar bertebaran, meruapkan wangi yang membuat keperempuananku menjadi semakin berharga. Itu yang kurasa ketika roncen Melati menghiasi rambut usai mandi. Lirikan dan pandangan kepranan lelaki berkali kunikmati ketika basah rambut bercumbu dengan roncen Melati. Bolehkah aku merasa bahagia?
     Yu, ada lagi yang ngarepno sampeyan…”
     Aku melirik dan mengarahkan jari telunjukku di depan bibir. Ginah, adikku, memamerkan prengut di wajah manis-lugunya. Terinspirasi telunjukku, Ginah bersijingkat membunuh suara langkah kakinya dan menempelkan telinganya di dinding kamar. Aku tersenyum. Hatiku berbisik dalam sepatah kata-kata patah, “Ginah, adikku, keluguan dan kepolosanmu bulan depan atan tahun depan mungkin akan menjamu kegelisahan yang sekarang aku rasakan…”
     Kusibakkan anak-anak rambutnya yang tambeng karena bermain-main di wajah putih polosnya. Ginah mengarahkan pandang ketidakpahaman memeluk hatiku. Segera aku peluk Ginah. Dia memelukku dalam tidak tahu, tetapi pelukan eratnya memberikan tahu bahwa Ginah sangat menyayangi aku, kakak perempuannya dan juga sosok ibu baginya.
     Pelukan erat kami membunuh panca indera dan ketika sadar Bapak sudah di pintu kamar.

*****
     Tekad Bapak telah bulat. Sebulat telur-telur yang kugodok malam ini. Tekad Bapak bulat untuk menerima lamaran Mas Jarwo. Usia menjadi alasan mendasar yang sukar untuk ditawar. Lazim bagiku, juga perempuan seusiaku, menikah dan melahirkan, sekarang. Aku tidak banyak tahu tentang pernikahan. Juga perbedaan antara perempuan-perempuan bersuami dan perempuan belum bersuami. Bahkan, aku juga belum tahu apa yang aku harap dan harus beri dari seorang suami. Mungkin karena aku terlalu banyak tidak tahu atau tidak ada yang memberi tahu aku, padahal sepengetahuanku; berbahagialah orang yang tidak tahu.
     Lelaki yang nama, wajah, apalagi perilaku belum banyak aku tahu malam ini dan seterusnya akan menjadi suamiku. Dalam pengetahuan Bapak, lelaki itu pantas menjadi suamiku. Kata Bapak; sawahnya luas, sapinya banyak, dan bulan depan katanya dia punya kajat untuk maju lurah-lurahan di kampungku, Temon. Aku memahami karep Bapak, beliau hanya ingin melihatku hidup bahagia. Sepeninggal Ibu, di mata Bapak aku mungkin tidak bahagia. Tetapi benarkah lelaki yang memiliki sawah yang luas, sapi yang banyak, dan berniat madeg lurah pasti bisa membahagiakan perempuan? Aku tak tahu mengapa, aku begitu meragukannya.
     Ketika air di panci itu lama tergelak dalam didih, aku segera mematikan api dan meniriskan telur-telur itu di wadah besar. Ujung mataku menangkap sepasang kaki mungil mendekat.
     “Selamat ya, Yu…” suara Ginah memecah lamunanku yang baru berkecambah. “Yu Girah bahagia?” Tanya polos itu kembali membantingku ke jurang lamunan yang enggan bersendawa apalagi tersenyum.
     Lama aku menjadi patung hingga air godokan telur itu tertiris habis. Dalam kedalaman ketidaksadaran aku mengangguk.
     “Lalu mengapa wajah Yu Girah tampak suntrut?”
     Ingin rasanya bibir ini jujur berkata, namun aku tidak ingin merusak kebahagiaan orang-orang yang kusayangi di sekitarku. Sejak kemarin-kemarin, setelah Bapak mengutarakan kebulatan tekadnya, kemana saja kaki ini melangkah aku melihat senyum bahagia. Sanak-kerabat, handai-tolan, karib-sahabat, membagi senyuman dan tawa lebar yang disimpulkan banyak orang sebagai petanda kebahagiaan.
     Hanya ketika kaki melangkah dari pancuran belakang ke kamar, saat aku menoleh ke kanan, saat pandangku berlabuh di kekembangan Melati. Aku melihat kembang-kembang Melati itu sedang tidak bahagia. Mungkinkah hanya rasaku dan rasa mereka yang tidak mengalir bersama?
     Mungkin rasa itu yang meraut janggutku mengukir sebuah anggukan ketika Ginah, adikku, bertanya?
     “Nanti Yu Girah akan sekamar dengan Mas Jarwo…” wajahnya menggoda dalam kata yang sepenggal ia tangkap maknanya. “Buka Kelambu, hihihi…” lucu, baginya. Entah bagiku.
     Ginah mendekat, kakinya njinjit agar bibirnya bisa menggapai kupingku. Belum bibirnya mengucap, dadanya tanpa sengaja kesenggol sikutku. Ah, dada adikku ini juga sudah semakin mekar rupanya.
     “Kamu tahu Buka Kelambu?” tanyaku seakan menganggap itu bukan sesuatu yang sakral.
     “Itu waktu perempuan sah-sah saja dibuka kelambunya oleh lelaki, Yu…” senyum yang kulempar menanggapi berat oleh makna.
     “Kata siapa itu, Nah?”
     “Kata Lik Marto.”
     “Kapan???”
     “Kemarin….. Ginah yang tanya sama Lik Marto.”
     Aku tercenung. Nafasku digantungi mendung. Berat. Senantiasa mendendam karena menjadi gerimis air mata adalah keniscayaan. Sepeninggal Ibu, aku yang dituntut untuk menjadi Ibu bagi Ginah. Lalu mengapa ketika Ginah ingin banyak tahu tentang Buka Kelambu, aku tengah alpa merajut makna bahagia bergelembung-bergelembung? Ketika aku tenggelam memikirkan arti bahagiaku, ternyata aku alpa membahagiakan Ginah, adikku.

*****
     Suara gending Kebogiro yang mengalun beranjak layu lamat-lamat di telinga. Suara sanak-kerabat yang sejak kemarin terasa terus menemani, mulai satu per satu undur diri. Sunyi menghampiriku yang sedang termangu di tepi telaga gelisah. Malam ini, aku harus sudi membuka kelambuku. Untuk Mas Jarwo. Untuk lelaki yang telah mengucap sumpah penerimaan diriku sebagai istrinya. Untuk lelaki yang sah hukumnya menjamah kelambuku.
     Lelaki yang telah resmi menjadi suamiku itu telah menutup pintu kamar.
     Mas Jarwo tersenyum. Senyum yang tidak kusua pada lelaki yang melirik kepranan ketika rambutku dihiasi roncen Melati. Senyum yang asing. Di dalam senyum itu ada berjejal nafas memburu, berjelaga biru.
     Mas Jarwo membuka bajunya. Keringat lelaki berdebu menggebu memadati kamar pengantin. Pergi kemana harum kesturi yang kusiram di kamar ini, tadi pagi? Mas Jarwo mendekat. Aku terduduk menunduk di pinggir ranjang pengantin. Semua yang kulihat dan kurasa dari Mas Jarwo, kutangkap dengan jaring-jaring ekor mata, sekilas namun aku merasa mengetahui semua.
     Entah mengapa?
     Aku merasa malam ini menjadi jajanan Nagasari, lembut putih diluar namun harus sudi membungkus seulin pisang raja. Manis?
     Kelambu telah terbuka. Kerontang jalanan dan keringat lelaki bernafsu menyergap kudukku. Sedapat mungkin aku ingin berkata bahwa aku akan bahagia. Tetapi, saat aroma mesumnya menyambar tubuhku, sulit bagiku untuk tidak jujur.
     Aku sedang tidak bahagia. Karena aku tahu, Lik Jarwo juga pernah menelanjangi Marji, menyuruhnya menungging dan merem-melek di belakang tubuh kecil Marji yang meringis, menangis.

******

Padepokan Girilusi, 2007