Oleh Anjrah
Lelono Broto
Kaki kecil Marji lincah mengelupas
pematang sawah menjadi jengkal-jengkal tak bermakna. Tanpa banyak membuang
pandang, kaki kecil Marji menguliti pematang meninggalkanku jauh di belakang.
Berkali aku harus membetulkan kain yang kupakai karena betisku menuntut untuk
tersembul saat langkah kaki melebar-melesat, mengikuti langkah-langkah kaki
kecil Marji yang bahagia namun tidak bersahabat dengan kakiku.
Belasan tahun aku telah melewati pematang
ini. Setiap sudut dan relungnya yang licin telah tersimpan rapat dalam
memoriku. Namun kelopakku berkembang seiring merunduknya bunga padi. Dulu aku
bisa berjalan atau berlari selincah kaki kecil Marji. Tapi itu itu dulu. Waktu
pinggul dan dadaku belum mekar seperti sekarang. Waktu betisku bukan sebuah
ketidaklaziman pemandangan, hingga aku harus memakai kain panjang, dan
langkahku tidak dibolehkan lebar dan mengibar.
Bahagianya waktu itu.
“Jangan cepat-cepat, Ji!!” rutukku
menggerutu.
Marji menoleh dengan dosa yang tidak
dipahami ujung atau pangkalnya. “Ada apa, Yu?”
“Jalanmu jangan terlalu cepat, Ji! Yu
Girah nggak bisa nututi….”
“Dhe Kromo tadi menyuruh cepat-cepat, Yu.”
Tanda tanya yang sewaktu Marji datang tadi
hanya sebesar biji kemiri, sigap menggelembung menjadi bongkahan batu lereng
Merapi. “Bapak punya karep apa lagi ini?” tanya batinku tak seirama dengan
gemuruh jantung.
“Di rumah tadi apa ada tamu nggak, Ji?!’
terburu.
Marji tidak menelurkan sebuah kata jawab.
Hingga hilang tubuh kecilnya di antara barongan Wak Kaji Karto, bocah yang
sering membantuku menjemur gabah itu tidak meninggalkan tanda yang bisa
kurangkai menjadi jawaban. Marji hanya melambai ringan. Sebuah petanda bahwa
tugasnya telah terseleseikan.
Ah, bahagianya. Ingin rasanya kembali
menjadi anak seumuran Marji, bisa berbuat dan berpikiran ringan dengan bahagia.
******
Ketika tanganku meletakkan caping di
dinding gedhek lumbung telingaku menangkap suara bantas Bapak dan tamunya di
mbale. Usia membuat telinga Bapak tidak setajam ketika masih suka mbedhog di
hutan wetan kali. Sehingga ketika berbicara seakan tidak ada lagi rahasia.
Siapa saja yang ada di halaman atau di samping rumah sekarang, tentu saja akan
mengetahui apa yang menjadi tema perbincangan. Bahkan bakul penthol yang lewat
di depan rumahku pun akan mengetahui rahasiaku. Karena aku dan
keperempuanankulah yang sekarang menjadi perbincangan hangat Bapak dengan
tamunya.
Gemericik air di pancuran belakang ketika
aku menguraikannya menjadi pembersih tangan dan wajah mengundang Ginah, adikku.
“Yu….”, suaranya ditahan.
Aku mengelap wajahku.
“Yu….”, kali ini dilebihkan.
Aku tidak membuat pertanyaan untuk Ginah,
adikku. Karena kutahu pasti apa jawabannya. Kulewati Ginah dan segera langkah
kuhela menuju kamar. Harapku, aku semakin jelas mendengar suara Bapak dari
kamar.
Aku tidak menoleh ke kanan. Aku tidak
menoleh ke kanan. Biasanya, ketika aku berjalan dari pancuran di luar rumah ke
kamar aku selalu menyisihkan saat dan pandangku ke kanan. Di mana ada
kekembangan Melati yang jika musim hujan seperti ini mekar bertebaran,
meruapkan wangi yang membuat keperempuananku menjadi semakin berharga. Itu yang
kurasa ketika roncen Melati menghiasi rambut usai mandi. Lirikan dan pandangan
kepranan lelaki berkali kunikmati ketika basah rambut bercumbu dengan roncen
Melati. Bolehkah aku merasa bahagia?
“Yu,
ada lagi yang ngarepno sampeyan…”
Aku melirik dan mengarahkan jari
telunjukku di depan bibir. Ginah, adikku, memamerkan prengut di wajah
manis-lugunya. Terinspirasi telunjukku, Ginah bersijingkat membunuh suara
langkah kakinya dan menempelkan telinganya di dinding kamar. Aku tersenyum.
Hatiku berbisik dalam sepatah kata-kata patah, “Ginah, adikku, keluguan dan
kepolosanmu bulan depan atan tahun depan mungkin akan menjamu kegelisahan yang
sekarang aku rasakan…”
Kusibakkan anak-anak rambutnya yang
tambeng karena bermain-main di wajah putih polosnya. Ginah mengarahkan pandang
ketidakpahaman memeluk hatiku. Segera aku peluk Ginah. Dia memelukku dalam
tidak tahu, tetapi pelukan eratnya memberikan tahu bahwa Ginah sangat
menyayangi aku, kakak perempuannya dan juga sosok ibu baginya.
Pelukan erat kami membunuh panca indera
dan ketika sadar Bapak sudah di pintu kamar.
*****
Tekad Bapak telah bulat. Sebulat
telur-telur yang kugodok malam ini. Tekad Bapak bulat untuk menerima lamaran
Mas Jarwo. Usia menjadi alasan mendasar yang sukar untuk ditawar. Lazim bagiku,
juga perempuan seusiaku, menikah dan melahirkan, sekarang. Aku tidak banyak
tahu tentang pernikahan. Juga perbedaan antara perempuan-perempuan bersuami dan
perempuan belum bersuami. Bahkan, aku juga belum tahu apa yang aku harap dan
harus beri dari seorang suami. Mungkin karena aku terlalu banyak tidak tahu
atau tidak ada yang memberi tahu aku, padahal sepengetahuanku; berbahagialah
orang yang tidak tahu.
Lelaki yang nama, wajah, apalagi perilaku
belum banyak aku tahu malam ini dan seterusnya akan menjadi suamiku. Dalam
pengetahuan Bapak, lelaki itu pantas menjadi suamiku. Kata Bapak; sawahnya
luas, sapinya banyak, dan bulan depan katanya dia punya kajat untuk maju
lurah-lurahan di kampungku, Temon. Aku memahami karep Bapak, beliau hanya ingin
melihatku hidup bahagia. Sepeninggal Ibu, di mata Bapak aku mungkin tidak bahagia.
Tetapi benarkah lelaki yang memiliki sawah yang luas, sapi yang banyak, dan
berniat madeg lurah pasti bisa membahagiakan perempuan? Aku tak tahu mengapa,
aku begitu meragukannya.
Ketika air di panci itu lama tergelak
dalam didih, aku segera mematikan api dan meniriskan telur-telur itu di wadah
besar. Ujung mataku menangkap sepasang kaki mungil mendekat.
“Selamat ya, Yu…” suara Ginah memecah
lamunanku yang baru berkecambah. “Yu Girah bahagia?” Tanya polos itu kembali
membantingku ke jurang lamunan yang enggan bersendawa apalagi tersenyum.
Lama aku menjadi patung hingga air godokan
telur itu tertiris habis. Dalam kedalaman ketidaksadaran aku mengangguk.
“Lalu mengapa wajah Yu Girah tampak
suntrut?”
Ingin
rasanya bibir ini jujur berkata, namun aku tidak ingin merusak kebahagiaan
orang-orang yang kusayangi di sekitarku. Sejak kemarin-kemarin, setelah Bapak
mengutarakan kebulatan tekadnya, kemana saja kaki ini melangkah aku melihat
senyum bahagia. Sanak-kerabat, handai-tolan, karib-sahabat, membagi senyuman
dan tawa lebar yang disimpulkan banyak orang sebagai petanda kebahagiaan.
Hanya ketika kaki melangkah dari pancuran
belakang ke kamar, saat aku menoleh ke kanan, saat pandangku berlabuh di
kekembangan Melati. Aku melihat kembang-kembang Melati itu sedang tidak
bahagia. Mungkinkah hanya rasaku dan rasa mereka yang tidak mengalir bersama?
Mungkin rasa itu yang meraut janggutku
mengukir sebuah anggukan ketika Ginah, adikku, bertanya?
“Nanti Yu Girah akan sekamar dengan Mas
Jarwo…” wajahnya menggoda dalam kata yang sepenggal ia tangkap maknanya. “Buka
Kelambu, hihihi…” lucu, baginya. Entah bagiku.
Ginah mendekat, kakinya njinjit agar bibirnya bisa menggapai
kupingku. Belum bibirnya mengucap, dadanya tanpa sengaja kesenggol sikutku. Ah,
dada adikku ini juga sudah semakin mekar rupanya.
“Kamu tahu Buka Kelambu?” tanyaku seakan
menganggap itu bukan sesuatu yang sakral.
“Itu waktu perempuan sah-sah saja dibuka
kelambunya oleh lelaki, Yu…” senyum yang kulempar menanggapi berat oleh makna.
“Kata siapa itu, Nah?”
“Kata Lik Marto.”
“Kapan???”
“Kemarin….. Ginah yang tanya sama Lik
Marto.”
Aku tercenung. Nafasku digantungi mendung.
Berat. Senantiasa mendendam karena menjadi gerimis air mata adalah keniscayaan.
Sepeninggal Ibu, aku yang dituntut untuk menjadi Ibu bagi Ginah. Lalu mengapa
ketika Ginah ingin banyak tahu tentang Buka Kelambu, aku tengah alpa merajut
makna bahagia bergelembung-bergelembung? Ketika aku tenggelam memikirkan arti
bahagiaku, ternyata aku alpa membahagiakan Ginah, adikku.
*****
Suara gending Kebogiro yang mengalun
beranjak layu lamat-lamat di telinga. Suara sanak-kerabat yang sejak kemarin
terasa terus menemani, mulai satu per satu undur diri. Sunyi menghampiriku yang
sedang termangu di tepi telaga gelisah. Malam ini, aku harus sudi membuka
kelambuku. Untuk Mas Jarwo. Untuk lelaki yang telah mengucap sumpah penerimaan
diriku sebagai istrinya. Untuk lelaki yang sah hukumnya menjamah kelambuku.
Lelaki yang telah resmi menjadi suamiku
itu telah menutup pintu kamar.
Mas Jarwo tersenyum. Senyum yang tidak
kusua pada lelaki yang melirik kepranan
ketika rambutku dihiasi roncen Melati. Senyum yang asing. Di dalam senyum itu
ada berjejal nafas memburu, berjelaga biru.
Mas Jarwo membuka bajunya. Keringat lelaki
berdebu menggebu memadati kamar pengantin. Pergi kemana harum kesturi yang
kusiram di kamar ini, tadi pagi? Mas Jarwo mendekat. Aku terduduk menunduk di
pinggir ranjang pengantin. Semua yang kulihat dan kurasa dari Mas Jarwo,
kutangkap dengan jaring-jaring ekor mata, sekilas namun aku merasa mengetahui
semua.
Entah mengapa?
Aku
merasa malam ini menjadi jajanan Nagasari, lembut putih diluar namun harus sudi
membungkus seulin pisang raja. Manis?
Kelambu telah terbuka. Kerontang jalanan
dan keringat lelaki bernafsu menyergap kudukku. Sedapat mungkin aku ingin
berkata bahwa aku akan bahagia. Tetapi, saat aroma mesumnya menyambar tubuhku,
sulit bagiku untuk tidak jujur.
Aku sedang tidak bahagia. Karena aku tahu,
Lik Jarwo juga pernah menelanjangi Marji, menyuruhnya menungging dan
merem-melek di belakang tubuh kecil Marji yang meringis, menangis.
******
Padepokan Girilusi, 2007